JAKARTA, JBP - Saya
sebenarnya tidak ingin seperti berpolemik dengan Wina Armada Sukardi,
pakar hukum pers yang dua periode menjadi anggota Dewan Pers dan pernah
menjabat Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, terkait
artikelnya “Tidak Ada Kewajiban Perusahaan Pers Mendaftar di Dewan
Pers”.
Mengapa?
Ada dua alasan. Pertama, saya sudah selesai bertugas di Dewan Pers
setelah menjadi anggota dua kali dan terakhir menjabat sebagai Wakil
Ketua. Kedua, pandangan seperti itu pun pernah disampaikan ahli pers
Kamsul Hasan yang juga lama menjadi pengurus PWI.
Apa
yang disampaikan itu betul adanya, dasarnya Undang-Undang No.40 tahun
1999 tentang Pers, yang kalau merujuk ke Pasal 15 ayat (g) mengatakan
salah satu fungsi Dewan Pers adalah mendata perusahaan pers. Jadi yang
ada adalah fungsi Dewan Pers. Tidak ada kewajiban perusahaan pers untuk
mendaftarkan diri. Sifatnya satu arah, bukan resiprokal. Karena beberapa
orang bertanya, tulisan itu dimuat di banyak media siber khususnya
yang pimpinan atau pemiliknya dari PWI, saya perlu merasa menulis supaya
tidak timbul salah faham karena seolah mempertentangkan pendataan dan
pendaftaran yang memang berbeda.
UU 40/1999 yang dibuat saat
terjadi euphoria reformasi memang dibuat sebebas mungkin akibat trauma
dari era Orde Baru yang dengan berbagai upaya ingin membungkam pers.
Oleh karena itu salah satu wujud dari betapa hebatnya UU 40/1999 ini
adalah tidak ada turunannya entah itu berupa Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, dst. Kalaupun akhirnya ada, maka
aturan yang dibuat haruslah berupa swa regulasi yang dibuat masyarakat
pers sendiri, difasilitasi Dewan Pers, sebagaimana disebut di Pasal 15
ayat (f) UU 40/1999. Dengan prinsip dari, oleh, dan untuk pers itu
sendiri. Atur sendiri, ya ikuti dan taati, apabila sudah semua sepakat
menjadikannya sebagai aturan.
Salah
satu tonggak dari kekompakan masyarakat pers dalam mengatur dirinya
sendiri itu, tertuang di Piagam Palembang 2010 yang ditandatangani
pimpinan media arus utama Indonesia di Hari Pers Nasional 2010 di
Sumatera Selatan. Kala itu, media cetak masih berjaya sehingga kerelaan,
keikhlasan untuk diatur oleh Dewan Pers, secara simbolis melambangkan
sikap dari sebagian besar masyarakat pers Indonesia.
Ada dua poin penting dari Piagam Palembang yang historis ini, saya kutip agar kita ingat lagi:
Kami
menyetujui dan sepakat, bersedia melaksanakan sepenuhnya Kode Etik
Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan,
Standar Kompetensi Wartawan, serta akan menerapkannya sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di
perusahaan kami.
Kami
menyetujui dan sepakat, memberikan mandat kepada lembaga independen
yang dibentuk Dewan Pers melakukan verifikasi kepada kami, para
pendatatangan naskah ini, untuk menentukan penerapan terhadap
kesepakatan ini. Kepada lembaga itu kami juga memberikan mandat penuh
untuk membuat logo dan atau tanda khusus yang diberikan kepada
perusahaan pers yang dinilai oleh lembaga tersebut telak melaksanakan
kesepakatan ini.
Dasar
dari kesediaan itu, sebagaimana disebut dalam alinea kedua preambule
Piagam Palembang, “Dalam mewujudkan kemerdekaan pers serta melaksanakan
fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, pers mengakui adanya
kepentingan umum, keberagaman masyarakat, hak asasi manusia, dan
norma-norma agama yang tidak dapat diabaikan. Agar pelaksanaan
kemerdekaan pers secara operasional dapat berlangsung sesuai dengan
makna dan asas kemerdekaan pers yang sesungguhnya, maka dibutuhkan pers
yang profesional, tunduk kepada undang-undang tentang pers, taat
terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan didukung oleh perusahaan pers
yang sehat serta serta dapat diawasi dan diakses secara proporsional
olehmasyarakat luas.”
Kebersediaan diatur ini tentu karena
asumsi, keyakinan bahwa Dewan Pers sudah independen sejak UU No.40/1999
berlaku, yang anggotanya tidak lagi ditunjuk pemerintah seperti
sebelumnya, tetapi dipilih masyarakat pers sendiri, dari kalangan
wartawan, perusahaan pers, dan masyarakat. Dengan kata lain, menyerahkan
diri diatur Dewan Pers artinya sama dengan mengatur diri sendiri alias
swaregulasi. Mengatur sesuai dengan kehendak kalangan pers sendiri.
Adanya
Piagam Palembang ini berkonsekuensi banyak. Apabila wartawan di media
“besar” sebelumnya malas dan merasa tidak perlu untuk ikut uji
kompetensi, pelahan tapi pasti mulai bersedia. Wajar karena
perusahaannya sudah menyatakan bersedia sepenuhnya mengikuti Standar
Kompetensi Wartawan, yang antara lain menetapkan Pemimpin Redaksi dan
Penanggung Jawab harus bersertifikat Wartawan Utama. Tidak ikut berarti,
secara struktural karier si wartawan tidak akan sampai di puncak.
Perusahaan
Pers dengan kesediaan itu, mewajibkan dirinya memberi gaji minimal
setara dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) 13 kali setahun (termasuk
Tunjangan Hari Raya), karena itu menjadi peraturan perusahaan, mengikuti
peraturan Menteri Tenaga Kerja yang diadopsi di Peraturan Dewan Pers
No.5 tahun 2008 tentang Standar Perusahaan Pers.
Perusahaan
pers besar juga bersedia diverifikasi oleh Dewan Pers. Dalam artikel
Wina Armada ditulis, tidak perlu anggota Dewan Pers yang repot-repot
turun untuk verifikasi faktual karena banyak urusan lain yang lebih
penting untuk dikerjakan. Tetapi sering kehadiran anggota ini penting,
khususnya untuk memberi persepsi kepercayaan terhadap lembaga.
Misalnya
saja ketika mengecek akte notaris suatu media, yang di dalamnya ada
jumlah modal, pemegang saham, dll, yang bagi perusahaan adalah rahasia.
Kalau staf sekretariat yang datang, saya tidak yakin pimpinan media yang
diverifikasi mau memberikan datanya, takut bocor atau apapun namanya.
Saya beberapa kali meyakinkan data itu bersifat rahasia, tidak akan
bocor dan saya jaminannya. Mereka percaya. Tentu saja, data itu sampai
tahapan tertentu juga bisa diakses di lembaga negara, tetapi ketika
berhadapan langsung, sosok pemverifikasi menjadi urgen.
Terkait
dengan pengaturan perusahaan pers ini, memang Standar Perusahaan Pers
No. 3 tahun 2019 terasa lebih progresif untuk mengantisipasi beberapa
hal yang tidak tercakup di Peraturan No.5/2008, hanya saja menimbulkan
konsekuensi berat bagi manajemen perusahaan. Apalagi dikaitkan dengan
kondisi ekonomi perusahaan pers, besar apalagi menengah dan kecil, yang
kian merosot akibat turunnya pendapatan sementara biaya operasional
meningkat.
Misalnya
saja, kewajiban untuk memberikan asuransi kesehatan dan asuransi
ketenagakerjaan kepada wartawan dan karyawan, di Pasal 20 Peraturan
Dewan Pers No.3/2019. Di aturan lama, itu diatur secara umum, di Pasal
Pasal 9 yang berbunyi “Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada
wartawan dan karyawannya seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi,
bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur
dalam Perjanjian Kerja Bersama.”
Ini
agaknya penjabaran lebih dekat dari Pasal 10 UU No.40/1999 tentang Pers
yang berbunyi, “Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada
wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau
pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.”
Verifikasi Akrual Dan Faktual Media Semakin Membebani
Persoalan
yang kini menghangat umumnya adalah terkait verifikasi ini. Sifatnya
sukarela tetapi menjadi seperti wajib bagi media, karena selain sebagai
wujud profesionalisme media, juga ada kaitan ekonomis, sejumlah lembaga
di pusat dan daerah, mensyaratkan status terverifikasi untuk dapat
menjadi mitra kerja terkait pencitraan lembaga. Bahasa kasarnya, untuk
bisa memperoleh jatah iklan.
Ada
empat pemerintah provinsi yang mewajibkan status terverifikasi ini
yakni Sumbar, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Riau, tetapi hanya
Sumbar dan Kepri menjalankan dengan konsisten. Babel masih menunda
karena banyaknya protes dari kalangan media, Riau meski sudah didukung
penuh organisasi perusahaan pers konsituen Dewan Pers, informasi
terakhir belum menjalankan 100%. Di kabupaten dan kota pun sudah banyak
yang menerapkan, ada menjalankan dengan ketat, dan masih ada yang
longgar karena berbagai alasan, seperti untuk keadilan bagi media yang
sudah menjalankan sebagian peraturan Dewan Pers.
Soal
verikasi ini ramai diangkat media saat berlangsung Hari Pers Nasional
2020 di Banjarmasin. Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh menegaskan, Dewan
Pers tidak pernah meminta pemerintah daerah untuk mensyaratkan status
terverifikasi untuk menjalin kemitraan. Saya sendiri dalam berbagai
kesempatan juga menyatakan hal yang sama. Bagi saya, cukup bahwa
perusahaan per situ berbadan hukum Indonesia sebagaimana ditetapkan
Dewan Pers, memiliki Pemred dan Penanggungjawab bersertifikat Wartawan
Utama sebagaimana diatur Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi
Wartawan, dan mencantumkan dengan jelas alamat redaksi sebagai bentuk
akuntabilitas kepada masyarakat.
Begitu
pula kalau ada kasus hukum atau masih di tingkat pengaduan ke
kepolisian atas sebuah produk jurnalistik, Dewan Pers selalu menjadikan
tiga hal di atas sebagai dasar untuk pembelaan terhadap media. Bukan
harus terverifikasi baru dibela dan dilindungi eksistensinya. Hal ini
juga disebabkan kesadaran dari sisi Dewan Pers bahwa proses verifikasi
media secara administratif apalagi faktual, memerlukan proses yang lama.
Ada
ratusan perusahaan pers yang antre, untuk diproses karena persyaratan
yang belasan jumlahnya, banyak berkas yang harus diperiksa dan dicek
atau konfirmasi, sementara sumber daya manusia yang mengurusnya terbatas
untuk tidak mengatakan sedikit. Dulu staf sering saya minta agar mereka
lembur untuk mempercepat proses, tetapi tetap saja kekuatan fisik dan
psikis staf ada batasnya.
Keluarnya
Peraturan Dewan Pers No.1 tahun 2023 yang ditetapkan 6 Januari 2023,
membuat verifikasi administrasi semakin membebani media, sampai saya
mengatakan ini sudah mirip dengan “Deppenisasi” yang berpotensi
mematikan kemerdekaan pers, karena “membunuh” kehidupan media kelas
UMKM. Kewajiban memiliki minimal 10 wartawan plus karyawan, kewajiban
membayar BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan untuk seluruh wartawan
dan karyawan, kewajiban membayar upah minimal setara UMP yang ditandai
dengan bukti transfer perusahaan ke karyawan, dll membuat media dengan
modal sedang atau kecil, mati berdiri.
Seharusnya
Dewan Pers memberi keringanan karena kondisi ekonomi perusahaan pers
yang terpuruk saat ini, tidak hanya karena perubahan perilaku konsumsi
informasi masyarakat dan makin tersedotnya iklan ke media sosial, tetapi
juga akibat pandemi selama dua tahun . Bukan malah membebani lagi.
Apakah anggota dan staf Dewan Pers tidak pernah turun ke lapangan untuk
mengetahui kehidupan ekonomi media yang seharusnya didorong untuk maju
dan kini terkesan malah dipersulit?
Dewan Pers Tidak Pernah Mewajibkan Perusahaan Pers Untuk Mendaftar
Kembali
ke awal cerita, Dewan Pers tidak pernah mewajibkan perusahaan pers
untuk mendaftar karena itu bertentangan dan tidak diatur di
Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers. Sebaliknya media
berlomba-lomba ingin diverifikasi karena inilah jalan keluar dari
pendapatan yang semakin sulit, antara lain akibat pertumbuhan media
siber yang abnormal. Dan fakta bahwa pemerintah daerah dan lembaga
menjadikan status terverifikasi sebagai saringan untuk memudahkan
pilihan, mana yang diajak kerjasama, efisiensi, pertanggungjawaban
anggaran yang akuntabel, serta keterbatasan anggaran.
Media
massa profesional masih dibutuhkan negeri ini untuk mengimbangi
kebisingan dan banjir informasi lancung dari media sosial sehingga semua
pihak khususnya Dewan Pers amat berkepentingan memberikan ekosistem
yang baik. Jangan biarkan mereka hidup segan mati tak mau di lahan
gersang, khususnya media produk wartawan profesional, wartawan idealis,
yang ingin menjalankan peran sebagai alat menyalurkan aspirasi
masyarakat, mengedukasi masyarakat , melakukan fungsi kontrol, menjadi
ajang diskusi atas masalah-masalah kebangsaan dan negara, dan
seterusnya.
Sebaliknya
Dewan Pers harus memunculkan gagasan, melakukan diskusi-diskusi
intensif, bagaimana agar pers ini mendapat nafas lebih banyak, memiliki
ruang hidup yang lebih luas, dan memilah-milah mana yang lebih penting
dari 7 fungsi Dewan Pers yang disebutkan di Pasal 15 UU No.40/1999 agar
mendukung dan bukan malah menghalangi pelaksanaan peran pers nasional
seperti dinyatakan Pasal 6 UU No.40/1999:
-Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
-Menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan
Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan
-Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
-Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
-Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Itulah
cita-cita perancang UU No.40/1999 dan sungguh berdosa apabila kita lupa
dan malah cenderung mengabaikannya karena asyik dengan hal remeh-temeh
yang mestinya diurus belakangan. Seperti kata pujangga Jawa
Ronggowarsito dalam salah satu bait di Serat Kalatida:
//Dilalah
kersa Allah/ begja-begjaning kang lali/luwih begja kang eling lan
waspada// yang artinya..//Sudah kehendak Allah/betapapun bahagianya
orang yang lupa/lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada//.Wallahu a’lam bishawab.
Ciputat, 22 Februari 2023
(Hendry CH Bangun)
Mantan Wakil Ketua Dewan Pers